OPINI - Rakyat marah. Muak. Tidak ada lagi kata-kata yang sanggup mewakili kemarahan rakyat, kecuali turun ke jalan dan ambil sikap. Upaya menganulir putusan MK (Mahkamah Konstitusi) atas perkara No 60 dan 70 oleh DPR yang dikendalikan penguasa menjadi anti klimaks. Setelah sekian lama peraturan terus diperkosa untuk menjadi pelayan bagi kepentingan segelintir orang yang mengendalikan kekuasaan. Sampai akhirnya tiba waktunya: Batas Kesabaran Rakyat Sudah Sampai Di Ujung.
Pembegalan konstitusi yang dikendalikan oleh penguasa ini menandai episode yang semakin melumpuhkan hukum dan tata kelola bernegara. Cukup ! Rakyat tidak bisa lagi memberikan toleransi kepada penguasa yang semakin hari semakin ngawur dan melampaui batas. Negara telah berada di ambang kehancuran. Bangsa dan negara sedang mengalami situasi sangat dharurat. Sekarang Dalam Keadaan Emergency !
Sepuluh tahun telah berlalu, demokrasi mati suri, pers dalam tekanan, mimbar kampus dilenyapkan, dan institusi hukum secara sempurna telah dijadikan sebagai alat sandera. Akibatnya, kehidupan berbangsa jadi semakin mencekam karena berbagai intimidasi, ancaman dan kriminalisasi. Di sisi lain, pesta pora korupsi semakin meraja lela, vulgar dan kasat mata. Terang-terangan dan tak ada lagi rasa malu. Siapapun yang mengusik akan dihabisinya. Istana menjadi pemandu bagaimana aset negara dan APBN dijadikan bancakan untuk kelompok elit mereka.
Stop ! Ini semua wajib dihentikan ! Rakyat tidak boleh lagi diam ! Kasus pembegalan konstitusi tiga hari terakhir ini menjadi isu kolektif tentang semangat rakyat yang membara dan meledak-ledak untuk mengembalikan negara ini ke tangan rakyat. Rakyat harus ambil alih. Rakyat sudah lama ingin tarik mandat dari segelintir elit yang keterlaluan nafsunya untuk menguasai negara ini dengan cara sewenang-wenang, ugal-ugalan, serampangan dan semau gue.
"Inilah masalah utama" yang memicu perlawanan rakyat.
Mereka lupa kalau negara ini didirikan bukan untuk mereka, tapi untuk seluruh rakyat Indonesia.
Isu pembegalan konstitusi hanya trigger. Cuna pemicu saja. Problem fundamentalnya adalah adanya penyalahgunaan mandat rakyat secara masif untuk memuaskan diri, keluarga dan kelompok kecil di lingkaran kekuasaan. Saatnya rakyat menarik kembali mandatnya dengan TRITURA (Tiga Tuntan Rakyat).
TRITURA berisi:
Baca juga:
Politik Nasional dan Pangandaran Tahun 2014
|
Pertama, turunkan Jokowi dan proses hukum semua keluarga serta kroni-kroninya yang terlibat Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Dinasti Politik).
Kedua, kembalikan amanat reformasi yang memberi ruang seluas-luasnya bagi berjalannya proses demokrasi dalam berbangsa dan bernegara yang bebas dari segala bentuk intervensi, intimidasi, manipulasi, dan penyanderaan penguasa.
Baca juga:
Awal Tahun 2022, DPRD Trenggalek Rombak AKD
|
Ketiga, usut tuntas kasus KM 50 dan semua pelanggaran HAM yang terjadi selama sepuluh tahun terakhir.
TRITURA (Tiga Tuntutan Rakyat) ini telah menjadi spirit bersama semua elemen bangsa yang hari ini (22/8) dan hari-hari berikutnya turun ke jalan dan berkumpul untuk menduduki Gedung DPR. Gelombang massa diperkirakan akan semakin membesar, terutama dari kalangan mahasiswa, komunitas dosen dan Guru Besar, para ahli dan aktifis, kalangan profesional, serta elemen keummatan (ulama, ustaz dan pengasuh pesantren) yang selama ini paling merasakan keteraniayaan. Juga para pengusaha yang dalam lima tahun terakhir ini mengalami kemerosotan ekonomi secara tajam akibat kebijakan ekonomi yang amburadul, tidak terukur, dan tidak punya arah serta tujuan.
Saat ini, rakyat berkumpul di gedung DPR, juga di berbagai kota di seluruh Indonesia, mereka sepakat untuk mengajukan TRITURA (Tiga Tuntutan Rakyat) itu. Massa akan terus berdatangan dan tidak akan berhenti sebelum TRITURA tersebut dikabulkan.
Jakarta, 22 Agustus 2022.
Tamsil Linrung*
Anggota DPD RI